Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi dan struktur yang
sederhana. Di dalam organisasi sekolah terjadi interaksi antar anggotanya
antara lain guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, yang ditunjang oleh sarana
prasarana. Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki visi, misi dan setrategi
untuk mencapai tujuan. Dalam mewujudkan visi, misi dan straregi sekolah
tersebut diperlukan manajeman di bawah kepemimpinan kepala sekolah. Iklim
adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi
. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar tercapai
peningkatan prestasi dapat diukur ( Keith Davis dan John W. Newstro, 1982).
Pandangan ini mengindikasikan kualitas iklim memungkinkan meningkatnya prestasi belajar siswa.
Iklim tidak dapat dilihat dan disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam
ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu
organisasi. Iklim dapat mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja (Keith Davis, 185:23). Iklim
sekolah dapat digolongkan menjadi 6 kondisi yaitu: (1) iklim terbuka, (2) iklim
bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim
parternal, dan (6) iklim tertutup.
Menurut Wayne K. Hoy
dan Cicil G. Miske, dalam bukunya Educational Administration:Theory,
Research, and Practice mengemukakan: “Organizatonal climate was defined
as a set of internal characteristics that distinguishes one school from another
and influences the behavior of people“ (1978:170). Iklim sekolah didefinisikan sebagai seperangkat ciri internal
yang membedakan satu sekolah dari yang lain dan mempengaruhi tingkah laku manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa iklim sekolah adalah
kondisi sekolah yang diwujudkan berdasarkan seperangkat nilai atau norma,
kebiasaan, dan ditopang sarana–prasarana. Kondisi tersebut berusaha
dipertahankan oleh kepala sekolah, guru, dan siswa dalam upaya peningkatan,
pertumbuhan, dan pengembangan sekolah dalam mencapai visi dan misinya.
Sumber : Hoy Wayne.K
dan Miskel Cicil G. (1982). Educational administration, Theory, research, and
practice. New York: Rondo House.
Review and Created
By. Sholdan Hady
Staf Pengajar Yayasan Al Kautsar Lampung
Jumat, 22 Juni 2012
MANAGEMENT KONFLIK
Definisi Konflik : Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan
atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain,
sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut
Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya
ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi
atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993,
p.4)
Menurut
Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud
dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah: Conflict
is a situation which two or more people disagree over issues of organisational
substance and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi
dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan
yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan
permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut
Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal
alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai,
persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri
Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu
interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam
mencapai tujuan, memainkan
peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling
berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku
yang direncanakan untuk
saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh
sandang- pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus,
atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan
dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan
yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang
terkait dengan
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan,
kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan
sebagainya.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1. Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai macam kondisi emosional yang
dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan
sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan
secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,
kelompok atau organisasi
secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda,
perbedaan peran dan
sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent
condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi
timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu,
kelompok atau organisasi
cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui
perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak,
maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi
produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber
Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan
tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
positif
terhadap dua persoalan atau
lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan terhadap
persoalan-persoalan yang mengacu pada satu
tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk
melakukan terhadap
persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan
negatif bagi orang yang
mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua
atau lebih hal yang
negatif tetapi tujuan-tujuan
yang dicapai saling terpisah satu sama lain. Dalam hal ini, approach-approach
conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil
dan mudah diatasi, serta
akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan peran
dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai
dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil penyelidikan kepustakaan
mengenai konflik peran dalam organisasi, yang dicatat melalui indikasi-indikasi
yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok yaitu : 1) Mempunyai kesadaran akan
terjadinya konflik peran. 2) Menerima kondisi dan
situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan. 3) Memiliki kemampuan untuk
mentolelir stres. 4) Memperkuat sikap/sifat
pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi
(Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133),
ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konflik antar pribadi dalam
organisasi misalnya adanya: 1. Pemecahan masalah secara sederhana.
Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan
orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian
utama.
2. Penyesuaian/kompromi.
Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima, namun tidak
selalu langsung tertuju pada masalah yang
sebenarnya. Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah
disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang
kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat
konflik ini ditandai dengan pendapat yang diperdebatkan. Mengambil
sikap menjaga jarak. Sebagai manajer,
manajer perlu memanfaatkan dan menunjukkan
aspek-aspek yang
sehat dari ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan
dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah
ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing yang amat kuat. Pada tingkat
ini, sering kali pendapat dan gagasan orang
lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan
melakukan berbagai macam cara untuk
memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan.
Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di
dalamnya saling menembak dari jarak dekat
kemudian mundur untuk menyelamatkan diri. Bila
amarah meledak, emosi pun menguasai akal
sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah
mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”. Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan
dalam konflik ini adalah karena biasanya hal ini tetap
mengacu
pada pemikiran yang logis. Meskipun demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak
ada
penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah
salah satu jenis konflik yang paling sulit diatasi karena tidak ada komunikasi
secara terbuka dan terus-terang. Konflik
hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah
konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik Konflik dapat berdampak
positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik Menurut Wijono (1993:3), bila
upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan
efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh
karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti: 1. Meningkatnya ketertiban
dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir
tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan
yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat
pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil
kerja meningkat baik kuantitas maupun
kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan
kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas
dan tanggung jawab sesuai dengan analisis
pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi
kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun
antar kelompok dalam organisasi, seperti
terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja,
tanggung jawab, dedikasi, loyalitas,
kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya
tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan
produktivitas kerja semakin meningkat. Hal
ini karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan
aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa
mengembangkan
karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang
dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui
pelayanan pendidikan (education), pelatihan
(training) dan konseling (counseling) dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua
ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan
produktivitas
kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif
Konflik Dampak negatif konflik
(Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektif dalam
pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur
dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Meningkatkan jumlah
absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja
berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara
radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada
di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang
tak jelas.
2. Banyak karyawan yang
mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil
dalam membagi tugas dan tanggung jawab. Seringnya terjadi
perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang
akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang
sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul
perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan,
merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang
bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan
melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran dari atasan,
misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi, dengan cara merusak
mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja,
membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain. 5. Meningkatnya kecenderungan
karyawan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini
bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena
produksi bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk
kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost
benefit.
Konflik yang tidak
terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya,
oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang
manajer akan terjebak pada hal-hal seperti: 1. Kehilangan karyawan yang
berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri.
Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling buruk adalah
karena mungkin Manajer harus memecat mereka. 2. Menahan atau mengubah
informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat
mencapai prestasi. 3. Keputusan yang lebih buruk
yang diambil oleh perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan
perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya. 4. Kemungkinan sabotase terhadap
pekerjaan atau peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau
“lupa”. Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung
banyaknya. 5. Sabotase terhadap hubungan
pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah
orang tidak memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah
emosi dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana. 6. Menurunkan moral,
semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang
berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim.
Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit sekali mengobarkannya
kembali. 7. Masalah yang berkaitan
dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai
kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik Menurut Stevenin (2000,
pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun
sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi
kesulitan:
1. Pengenalan Kesenjangan antara keadaan
yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya
yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan
masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis Inilah langkah yang
terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa,
dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah
utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi Kumpulkanlah masukan mengenai
jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan
sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang
terbaik.
4. Pelaksanaan Ingatlah bahwa akan selalu
ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu
mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi Penyelesaian itu sendiri
dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak
berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141)
juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam
perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak
dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun
berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah
dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik
dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga. 3. Jangan biarkan visi
dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada
masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan
kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 :
42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict) Menurut Wijono (1993 :
42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak
tujuh strategi yaitu: 1) Menciptakan kontak dan
membina hubungan 2) Menumbuhkan rasa percaya
dan penerimaan 3) Menumbuhkan kemampuan
/kekuatan diri sendiri 4) Menentukan tujuan 5) Mencari beberapa
alternatif 6) Memilih alternatif 7) Merencanakan pelaksanaan
jalan keluar 2. Strategi Mengatasi Konflik Antar
Pribadi (Interpersonal Conflict) Menurut Wijono (1993 :
66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak
tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy) Beorientasi pada dua individu
atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang
bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang
yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga
sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah,
konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan
mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh
pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.
Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration) Arbitrasi merupakan prosedur
di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak
ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian
konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi (Mediation) Mediasi dipergunakan oleh
Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh
abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung
terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak
mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy) Dalam strategi saya menang
anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang
konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan. Beberapa cara yang digunakan
untuk menyelesaikan konflik dengan win-lose strategy
(Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu
proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas
sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan
dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk
menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam
batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan
membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan
informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya
rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan
penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan
(power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu
(individual traits).
e. Taktik-taktik yang
berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai
suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan
konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition
for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy) Penyelesaian yang dipandang
manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan
menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang
terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana
kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing
dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang
dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi
ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal
yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu
(Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau
memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar
pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi
proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah
pihak yang terlibat konflik 3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi
(Organizational Conflict) Menurut Wijono (1993,
pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi
terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach) Konflik muncul karena adanya
hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik
vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical
structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan
berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh
bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya
dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk
mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach)
dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati
dengan cara menggunakan hirarki struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik
Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict) Bila terjadi konflik lateral,
biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.
Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara
konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif
kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach) Model pendekatan perundingan
menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi
menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem
(system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul. Pendekatan ini menekankan
pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan
produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural
Reorganization) Cara pendekatan dapat melalui
mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural
guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua
belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk
mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling
ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan
yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
Review and Created
BySholdan
Hady
Staf Pengajar Al Kautsar Lampung
Kamis, 21 Juni 2012
PENGEMBANGAN
KURIKULU SD
a.Konsep dasar kurikulum
Kurikulum menurut saya adalah rencana, petunjuk dan pedoman yang digunakan
dalam pendidikan. Kurikulum berisikan tujuan pendidikan yang ingin dicapai
dengan isi yang disesuaikan dengan tujuan serta metode yang digunakan dalam
penyampaiannya. Evaluasi untuk menguji apakah tujuan yang terdapat dalam
kurikulum dapat tercapai atau belum. Kurikulum sebagai suatu ide/konsep,
rencana yang menjadi panduan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar
serta kurikulum sebagai hasil belajar yang menjadi ukuran keberhasilan
pendidikan.
Jika sebuah lembaga pendidikan dalam pembelajaran tidak mengggunakan kurikulum.
• Pendidikan tidak akan mampu menyesuaiakan dengan lingkungan masyarakat.
Dengan kurikulum akan mampu menciptakan individu yang bisa menyesuaikan dengan
kondisi masyarakat. Pendidikan akan mamapu mengimbangi kondisi masyarakat yang
dinamis.
• Tidak akan terpadu antara individu atau individu dengan masyarakat. Karena
tanpa kurikulum tidak ada hubungan yang harmonis, kerjasama serta pemecahan
masalah cenderung diselesaikan sendiri. Tak ada integrasi anatara pendidikan
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
• Potensi yang ada dalam peserta didik kurang dapat dikembangkan, tanpa
kurikulum keunikan peserta didik akan terabaikan. Dengan kurikulum akan mampu
mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dan kreatif.
• Peserta didik tidak akan memilki persiapan untuk hidup ditengah kehidupan
sosial, pendidikan yang diperoleh tidak memeberikan pengalaman-pengalaman yang
digunakan untuk bekal hidup bermasyarakat.
• Tugas perkembangan peserta didik tidak berkembang dengan baik dan lancar.
Pelayanan terhadap kebutuhan anak tidak akan bisa tepat dan maksimal, sehingga
pengembangan bakat dan minat peserta didik kurang.
• Pendidikan tidak akan mampu menemukan kelemahan yang dialami lewat ujian.
Tanpa kurikulum akan menebabkan peserta didik tidak mampu memahami dirinya,
mengarahkan dirinya, mengembangangkan diri dan menysesuaikan dengan masyarakat.
Kelebihan dan kelemahan penerapan model
pembelajaran yang berorientasi kepada hak azazi anak.
Kelebihan:
·Semua hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak akan terwujud, karena tanapa membeda-bedakan semua pendidikan diberikan
kepada seluruh anak.
·Tidak ada jurang pemisah antara anak, karena
semua diberi pelayanan yang sama sesuai dengan kebutuhannya.
·Terjadi hubungan yang harmonis antara peserta
didik (anak) karena mereka dapat bekerja sama dan berinteraksi dalam pendidikan
yang baik.
·Menguatkan mereka yang lemah dan menjadikan
tidak sombongmereka yang lebih, semuanya akan dapat memahami dirinya
sendiri-sendiri yang memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Kelemahan:
·Kesulitan untuk mengembangkan model
pembelajaran, karena heterogennya peserta didik.
·Membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga untuk
mengembangakannya.
·Rentan terjadi ketidak puasan jika sedikit saja
kebutuhan tidak dipenuhi.
Perdebatan eksistensi kurikulum dan pembelajaran selama ini iabarat
mempertanyakan lebih dahulu mana antara telor dengan ayam. Sebenarnya keduanya
merupakan dua hal yang berhubungan, seperti dua sisi mata uang. Kurikulum akan
membantu pendidikan lebih terprogram dengan baik karena di dalamnya akan
direncanakan dan ditentukan isi untuk memenuhi tujuan pembelajaran yang
diinginkan. Sedangkan pembelajaran sendiri menjadikan proses penentuan
kurikulum yang itu lebih baik, karena dalam pembelajaran berarti ada praktek
langsung dari kurikulum tersebut dan bisa dideteksi kelebihan dan
kekurangannya. Dan bisa dicarikan jalan keluar untuk dapat memeperbaiki
kurikulum tersebut agar menjadi lebih sempurna. Keduanya salin terkait dan
saling mempengaruhi dan keduanya juga sama-sama penting, seperti soal di atas
(A.2) kurikulum memiliki fungsi untuk menuangkan ide atau konsep dan
menjabarkan dalam bentuk yang lebih mudah dilaksanakan dan dipahami dalam
proses pembelajaran.
b. Langkah-langkah untuk mengembangkan Muatan lokal.
Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah.
Menelaah dan mendata keadaan dan kebutuhan daerah, dan data dapat diperoleh
dari bappeda, instasi, perguruan tinggi, badan uasaha atau industri dan lembaga
sosial masyarakat. Sehingga akan dikethaui potensi dari daerah baik meliputi
sosial, ekonomi, budaya dan kekayaan alam.
Mengidentifikasi fungsi dan komposisi mata pelajaran.
Dari potensi yang ada maka dapat menentukan pemenuhan untuk mengembangak
potensi tersebut. Misalnya denan melestariakan budaya dan mengembangkannya,
meningkatkan ketrampilan, berwiraswasta, atau pengguasaan bahasa inggris.
Menentukan bahan kajian muatan lokal.
Mengkaji kemungkinan muatan lokal yang mungkin untuk diangkat, sebagai bahan
kajian, dalam mengembangakan kajian muatan lokal harus memperhatiakan
kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa, kemempuan guru, tersedaianya
sarana, dll.
Menyusun GBPP atau silabus muatan lokal dan perangkat kurikulum muatan lokal
lainnnya.
Yang dalam langkahnya juga melalkukan bebrapa langkah lanjutan yaitu:
Menentukan tujuan dan kompetensi pembelajaran
Menentukan sub pokok bahasan
Mengorganisasi materi atau bahan kajian muatan lokal ke dalam satuan
pendidikan, kelas, semester.
c. Langkah-langkah untuk mengembangkan sekolah inklusif:
1. Menentuan kurikulum.
Kurikulum pendidikan inklusif adalah kurikulum nasional dan kurikulum lokal,
dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem
pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integritas antara pengembangan
spiritual, logika, etika, dan estetika serta dapat mengembangkan kemampuan
berfikir holistik, kreatif, sistematik, linear, dan konvergen untuk memenuhi
tuntutan masa kini dan yang akan datang sesuai dengan kadar potensi
masing-masing siswa.
2. Menentukan Struktur program (jumlah jam setiap mata pelajaran)
Untuk semua kelas dan semua sekolah sama, hanya perbedaannya terletak pada
waktu penyelesaian kurikulum tersebut lebih dipercepat atau diperlambat sesuai
kondisi sekolah masing-masing. Percepatan atau perlambatan tersebut didasarkan
pada kemampuan siswa dalam menguasai kompetensi isi kurikulum dan
mengefektifkan sistem pembelajaran dengan mengurangi pembahasan materi yang
tidak esensial.
3. Melakukan Pendekatan PBM diarahkan kepada terwujudnya proses belajar tuntas.
Selain itu strategi pembelajaran diarahkan untuk dapat memacu siswa aktif dan
kreatif sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing, dengan
memperhatikan keselarasan dan keseimbangan tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
pengembangan kreatifitas, disiplin, pengembangan persaingan dan kerjasama,
pengembangan kemampuan holistik, pengembangan berpikir elaborasi, pelatihan
berpikir induktif dan deduktif, serta pengembangan IPTEK dan IMTAQ secara
terpadu.
Dalam pelaksanaan PBM, guru menekankan kepada hal-hal sebagai berikut:
(1) Pelayanan individual (bukan klasikal).
(2) Menggunakan buku paket, buku pelengkap, buku referensi, dan modul.
(3) Menggunakan LKS yang dibuat sendiri.
(4) Menggunakan media audio visual (multi media).
(5) Menggunakan sarana laboratorium (lab. Kimia, lab. Fisika, Lab. Bahasa,
Lab. Komputer, dan internet) sesuai dengan
kebutuhan atau
laboratorium alam (misalnya : kebun,
sawah, dsb) sesuai kondisi sekolah.
(6) Melakukan kunjungan ke objek-objek tertentu yang sesuai dengan
mata pelajaran yang sedang dipelajari.
(7) Memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar di luar kegiatan
sekolah formal melalui media lain,
misalnya GPK, radio,
televisi, internet/komputer, wawancara
pakar, kunjungan ke musium,